Dalam konteks konflik antara Wakil Bupati (Wabup) Ujang Endin dan Bupati Jeje Wiradinata, kritik yang dilontarkan Ujang Endin semakin kental dengan nuansa tendensius dan sangat politis. Kritik tersebut tidak lagi hanya sekadar mengomentari kebijakan pemerintah daerah, tetapi tampak sebagai upaya sistematis untuk mengalihkan tanggung jawab yang seharusnya dipikul bersama. Ujang Endin berusaha membingkai narasi di mana kebijakan-kebijakan yang berhasil dipersepsikan sebagai buah dari jerih payahnya sendiri, sementara kebijakan yang tidak populer ia lemparkan sepenuhnya kepada Bupati.
1. Nuansa Tendensius dan Politis: Kritik Sebagai Alat Penghapusan Tanggung Jawab
Tendensi politis dalam kritik Wakil Bupati ini semakin jelas ketika kritik tersebut lebih banyak diarahkan pada kebijakan yang tidak populer, padahal ia juga terlibat dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari pemerintah. Hal ini memperlihatkan adanya upaya untuk menjauhkan diri dari tanggung jawab kolektif atas kebijakan yang diambil bersama. Dengan mengkritik Bupati secara terbuka, Wakil Bupati berusaha menciptakan citra bahwa ia berbeda dan tidak terlibat dalam kebijakan yang dinilai gagal atau tidak disenangi publik.Etika politik yang baik menuntut seorang pejabat publik untuk jujur dalam berbagi tanggung jawab. Dalam sistem pemerintahan, keputusan dan kebijakan jarang diambil oleh satu orang saja, terutama pada level eksekutif seperti Bupati dan Wakil Bupati. Kritik yang dilontarkan Wakil Bupati tanpa mengakui tanggung jawabnya sendiri mencerminkan adanya ketidakjujuran dalam pengambilan sikap politik. Ini memperlihatkan strategi untuk menempatkan diri di atas pemerintah yang ada dengan harapan mengamankan dukungan politik untuk kontestasi mendatang.
2. Manipulasi Publik: Kebijakan yang Populer Dipuji, yang Tidak Populer Dihindari
Salah satu ciri utama dalam kritik Ujang Endin adalah kecenderungannya untuk mengklaim kebijakan yang berhasil sebagai hasil dari kontribusinya sendiri, sementara kebijakan yang tidak populer ia singkirkan sebagai tanggung jawab Bupati. Ini adalah strategi manipulasi publik yang tidak etis dalam dunia politik, karena ia berusaha membentuk persepsi publik bahwa hanya dirinya yang pantas mendapatkan pujian atas kesuksesan pemerintah daerah, sementara kegagalan bukan tanggung jawabnya.Tindakan seperti ini merusak integritas pemerintahan dan menciptakan narasi yang tidak adil. Seorang Wakil Bupati, sebagai bagian dari pemerintah, memiliki tanggung jawab yang sama dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya. Dengan melemparkan tanggung jawab atas kebijakan yang tidak populer kepada orang lain, Wakil Bupati menghindari kritik yang seharusnya juga ia terima. Hal ini dapat membingungkan masyarakat yang tidak memahami dinamika pemerintahan secara mendalam, serta menurunkan kepercayaan terhadap institusi pemerintah.
3. Hak Berkontestasi dan Etika Politik: Menjaga Integritas di Tengah Ambisi
Meskipun Wakil Bupati memiliki hak untuk berkompetisi dalam kontestasi politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, etika politik yang baik harus tetap dijaga. Ambisi politik tidak boleh mengorbankan tanggung jawab kolektif dan integritas pemerintahan. Dalam politik yang sehat, kontestasi hendaknya berlangsung dalam semangat fair play, di mana setiap calon atau pejabat mengakui tanggung jawab mereka dan tidak menjatuhkan lawan politik dengan taktik yang menyesatkan.Wakil Bupati yang sedang berkontestasi untuk menjadi Bupati memiliki hak untuk mempromosikan dirinya dan program-program yang ia tawarkan. Namun, ia juga memiliki kewajiban moral untuk tidak mempolitisasi kebijakan yang mereka ambil bersama hanya demi keuntungan politik. Mengkritik Bupati secara sepihak tanpa mengakui peran dalam pemerintahan saat ini menunjukkan ambisi yang cenderung melampaui etika politik yang baik.
4. Pentingnya Menjaga Etika Politik: Tanggung Jawab Bersama dalam Kepemimpinan
Etika politik yang baik harus dijaga oleh semua pihak, baik Bupati maupun Wakil Bupati, terutama ketika mereka masih sama-sama memegang jabatan dalam satu pemerintahan. Kritik tendensius yang dilandasi oleh ambisi politik pribadi bukanlah cara yang tepat untuk menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan transparan. Alih-alih melemparkan tanggung jawab, kedua pejabat ini harus saling mendukung dalam menghadapi permasalahan dan memastikan bahwa mereka memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.Dalam konteks pemerintahan yang baik, tanggung jawab atas kebijakan harus dipikul bersama. Pemerintah daerah seharusnya menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah tim yang solid dalam menjalankan tugas mereka, terlepas dari perbedaan politik yang mungkin ada di masa mendatang. Menggunakan kritik sebagai alat untuk mendorong ambisi politik hanya akan menciptakan ketidakstabilan dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Kesimpulan
Kritik Wakil Bupati yang lebih bernuansa tendensius dan politis menunjukkan bahwa ambisi pribadi dan strategi politik dapat mendorong pejabat untuk menghindari tanggung jawab mereka sendiri. Meskipun berkontestasi merupakan hak politik yang sah, etika politik yang baik menuntut para pemimpin untuk tetap jujur, transparan, dan bertanggung jawab atas setiap kebijakan yang mereka ambil bersama. Kritik yang dilontarkan dengan motif politik semata, terutama untuk menghapus tanggung jawab sendiri, tidak hanya merusak integritas pemerintahan tetapi juga membahayakan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan mereka.